Serangan gajah liar dari kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terhadap tanaman kelapa sawit milik petani Dusun V Damar Hitam, Desa Mekar Makmur, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, kini telah melampaui batas kewajaran. Hampir setiap malam, kawanan gajah masuk ke areal perkebunan warga, merusak dan memakan tanaman yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat.
Seperti yang terjadi pada malam 5 Agustus 2025, sejumlah pohon sawit kembali porak-poranda. “Ini sudah sangat meresahkan,” ujar Soeb Bangun (58), salah satu petani yang kebunnya menjadi sasaran amukan gajah liar. Senada dengan itu, Hormat Ginting menambahkan, “Padahal kami berjaga sampai jam 12 malam. Karena tidak ada tanda-tanda gajah akan masuk, kami pun pulang ke pos masing-masing. Eh, begitu pagi, ternyata pohon sawit kami sudah bergelimpangan.”
Rabat Beton yang Hancur
Kerugian yang dialami warga Dusun V Damar Hitam akibat konflik dengan gajah liar bukan hanya terbatas pada rusaknya tanaman. Kawanan gajah yang kerap melintasi jalur perladangan juga menyebabkan kerusakan infrastruktur jalan yang menjadi akses utama masyarakat menuju kebun.
Setiap hari, warga yang beraktivitas di ladang mengeluhkan kondisi jalan yang semakin parah. Hal ini telah disampaikan kepada Kepala Dusun V agar dapat diusulkan dalam Musrenbang. Namun, karena belum ada kepastian kapan dana desa akan terealisasi, masyarakat memutuskan untuk bergotong royong memperbaiki jalan secara swadaya.
“Kalau menunggu bantuan pemerintah, kita yang susah. Apalagi kalau habis hujan, nyorong-nyorong kereta naik bukit ini,” keluh Syahnurdin (58), warga yang ikut gotong royong pada Selasa, 12 Agustus 2025.
Menurut Kepala Dusun V, Sumardianto, usulan perbaikan jalan sudah beberapa kali diajukan dalam Musrenbang, namun belum juga mendapat tanggapan.
“Akibat seringnya gajah masuk ke ladang, aku mau jual ladangpun gak laku-laku. Padahal sudah kutawarkan murah,” ujar Waja Ginting (49) di sela-sela gotong royong.
Suara yang Belum Didengar
Kejadian ini bukan yang pertama. Menurut Soeb Bangun dan beberapa warga lainnya, mereka telah berulang kali melaporkan insiden ini kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Langkat dan BKSDA Provinsi Sumatera Utara. Namun hingga kini, belum ada tanggapan atau tindakan nyata dari pihak terkait.
“Kami hanya ingin ada solusi. Kami tidak ingin menyakiti gajah, tapi kami juga ingin tanaman kami aman,” keluh Soeb.
Gajah memang satwa yang dilindungi dan keberadaannya penting bagi keseimbangan ekosistem. Namun masyarakat juga memiliki hak untuk hidup aman dan sejahtera. Ketika konflik antara manusia dan satwa liar terus berulang tanpa penyelesaian, yang lahir adalah rasa frustrasi dan ketidakpercayaan terhadap sistem perlindungan yang seharusnya adil bagi semua pihak.
Dusun V Damar Hitam tidak hanya menghadapi kerusakan fisik, tetapi juga trauma sosial. Petani harus berjaga malam, meninggalkan keluarga, dan tetap waspada setiap saat. Ketika pagi datang, yang tersisa hanyalah batang sawit yang tumbang dan harapan yang kian menipis.
“Kami sudah capek. Kami bukan musuh gajah, tapi kami juga bukan musuh negara. Kami hanya ingin didengar,” ujar Hormat Ginting dengan nada getir.
Saatnya Kolaborasi Nyata
Konflik ini seharusnya menjadi panggilan bagi para pemangku kepentingan: BKSDA, pemerintah daerah, TNGL, dan lembaga konservasi. Perlindungan satwa tidak boleh mengabaikan perlindungan manusia. Diperlukan pendekatan kolaboratif, seperti pembangunan pagar konservasi, sistem peringatan dini, atau relokasi jalur migrasi gajah yang lebih aman.
Masyarakat Dusun V Damar Hitam tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin solusi yang nyata, bukan janji yang menguap. Mereka ingin hidup berdampingan dengan alam, bukan menjadi korban dari ketidakhadiran negara.
Ketika suara warga tak lagi didengar, maka yang tersisa hanyalah resah. (Suparno | JWD Mekar Makmur)
Suparno
10 Juli 2025 10:40:56
Mantap dan luar biasa...